Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi,pekerja profesional atau praktisi di bidangnya,pengamat atau pemerhati isu-isu strategis,ahli/pakar di bidang tertentu,budayawan/seniman,aktivis organisasi nonpemerintah,tokoh masyarakat,pekerja di institusi pemerintah maupun swasta,mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
Daftar di sini
Kirim artikel
Editor Sandro Gatra
PADA 17 Agustus,rakyat Indonesia merayakan Hari Kemerdekaan. Perayaan rutin tahunan diadakan di mana-mana,di kampung dan di kota. Di kelurahan dan di Istana.
Perayaan tahun ini bersejarah kerena untuk kali pertama diadakan di IKN (Ibu Kota Negara) yang baru.
Di tengah keriaan hari kemerdekaan,tak salah jika kita sejenak mengilas balik sejarah seputar diplomasi kemerdekaan.
Sejarah mencatat,salah satu hal yang pertama dilakukan para pemimpin di awal kemerdekaan ialah mendapatkan pengakuan (recognition) dari negara sahabat.
Untuk itu,dilakukanlah diplomasi kemerdekaan. Perjuangan diplomasi kemerdekaan dilakukan melalui dua jalur: perjuangan pengakuan kemerdekaan dari negara sahabat dan perundingan dengan Belanda.
Pertama,untuk memperoleh pengakuan kemerdekaan,beberapa tokoh berkunjung ke negara sahabat. Hasilnya,beberapa negara mengakui kemerdekaan Indonesia.
Dalam kurun waktu 1945-1950,tidak kurang 7 negara mengakui kemerdekaan de facto Indonesia,yaitu Mesir,Suriah,Libanon,Yaman,Arab,India,dan Vatikan.
Ada konsideran politik menarik dari diplomasi kemerdekaan Indonesia. Coba tengok,mayoritas negara yang mengakui kemerdekaan Indonesia paling awal ialah negara kawasan Arab Timur Tengah.
Itu tak lepas dari pertimbangan kedekatan sosial budaya antara Indonesia dan negara kawasan yang mayoritas Islam.
Pengakuan kemerdekaan oleh Vatikan juga tak jauh dari konsideran sosial budaya dan agama.
Indonesia,sejak awal kemerdekaan masyarakatnya sudah majemuk dalam takaran etnik,suku,dan agama. Pengakuan dari Vatikan--sebagai pusat Gereja Katolik sedunia--menegaskan citra Indonesia sebagai negara yang menghormati keberagaman dan perbedaan.
Itu menjadi pemantik simpati negara Barat,dalam melihat perjuangan diplomasi kemerdekaan Indonesia.
Diplomasi kemerdekaan ke India tak kurang menariknya. Syahdan kala itu,pada 1946,India sedang mengalami krisis pangan dan bahaya kelaparan serius. Indonesia baru merdeka. Tentu tidak kaya (untuk tidak mengatakan sangat miskin).
Namun,atas inisiatif Perdana Menteri Sutan Syahrir,Indonesia mengirim 500.000 ton beras untuk India.
Dalam kasatmata,bantuan beras dinilai sebagai solidaritas kemanusiaan Indonesia terhadap India yang sedang kesusahan.